- 04/02/2025
- Plaza Ruang Literasi Kaliurang
Pembicara:
Budiman Sudjatmiko
(Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan)

Dalam tradisi pemikiran ekonomi, kemiskinan telah menjadi isu klasik bahkan lebih klasik daripada madzhab Ekonomi Klasik yang dipelopori oleh Adam Smith. Bahkan sejak Xenophon (430 SM) menulis Eoconomicus 20 abad yang lalu kemiskinan tetap menjadi pokok bahasan para pemikir. Hingga hari ini ketika fungsi karya manusia akan dilimitasi oleh AI, para pegiat AI bahkan bereksperimentasi untuk melibatkan AI dalam upaya pemberantasan kemiskinan. Salah satunya yang dilakukan Marshall Burke (Asisten Profesor di Stanford University) yang menggunakan AI untuk memetakan wilayah miskin di Afrika menggunakan satelit penginderaan siang dan malam untuk membuat permodelan dan kemudian dilakukan proyeksi kebijakan dan program terhadap hasil permodelan tersebut.
Kita saat ini hidup di era dimana kita bisa membaca keberagaman teori tentang kemiskinan sejak Adam Smith hingga Grunder Frank, lalu di saat bersamaan disuguhi berbagai macam eksperimentasi praktis untuk mengatasi kemiskinan seperti yang dilakukan oleh Burke. Pertanyaannya, dari mana kita memulai mengatasi? Apa penyebab utama dan pokok dari kemiskinan? Bagaimana kita belajar dari kegagalan dan kesalahan para pendahulu? Lalu Kebijakan dan metodologi apa yang tepat untuk mengatasi problem kemiskinan. Sebelum kita menanggulangi kemiskinan, terlebih dahulu kita harus mengatasi kemiskinan pengetahuan kita terhadap kemiskinan itu sendiri. Sehingga di hadapan kemiskinan, kita tidak menjadi Sisyphus yang hanya membawa batu ke puncak gunung namun tidak pernah tahu dan mampu bagaimana cara menghancurkan batu.
Dilema Peran Sains dan Teknologi
Dalam pandangan penganut teori Ekonomi Linear, kemakmuran akan dicapai ketika masyarakatnya kaya. Kekayaan hanya dapat diciptakan dari proses nilai tambah. Semakin intensif proses nilai tambah yang berlaku, maka semakin cepat dan besar kekayaan yang dapat diciptakan. Sementara efisiensi hanya dapat terjadi berkat penggunaan teknologi sebagai instrumennya. Seperti yang dilakukan para peneliti dari Carnegie Mellon University meluncurkan proyek AI bernama Farmview dimana para sarjana menggunakan AI untuk meningkatkan keberlanjutan panenan tanaman pangan pokok di negara-negara berkembang khususnya komoditas sorgum. Sorgum digunakan untuk produksi makanan, minuman, dan biofuel. Peluang untuk menanam Sorgum akan sangat bermanfaat bagi daerah-daerah miskin yang mengandalkan pertanian sebagai sumber pendapatan utama mereka.
Ketika World Bank menyalahkan minimnya akses terhadap modal sebagai penyebab kemiskinan, justru dalam lima tahun terakhir di Indonesia kita jumpai banyak aplikasi pinjaman online (fintech) di playstore yang memberikan akses uang dan modal kepada rakyat miskin dengan bunga yang tidak masuk akal. Namun apa yang terjadi, beberapa kali kita jumpai berita masyarakat melakukan bunuh diri akibat pinjol.
Pengamatan maupun penerapan kebijakan ekonomi bukan tidak melibatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Para sarjana ekonomi di republik ini bahkan terlatih untuk menggunakan berbagai aplikasi untuk kalkulasi sekaligus modelling matematis dalam penelitiannya. Termasuk di dalamnya penggunaan data yang semakin mutakhir dan lengkap. Namun sejauh mana aspek etik, moralitas, maupun kebudayaan terlibat di dalamnya?
Lantas bagaimana kita membangun budaya iptek yang humanis ketika saat ini kita juga dihadapkan dengan kecenderungan penggunaan Artificial Intelligence (AI)? Ketidak-sempurnaan dan ketidakmampuan budaya iptek manusia ini, justru membawa kita ke suatu kesadaran, bahwa proses alami atau metode yang alamiah, seperti conscious evolution yang paling aman dapat diterapkan, dalam usaha membangun dan memberdayakan derajat dan martabat ekonomi manusia.
Paradigma Kemiskinan dan Kemiskinan Paradigma
Penjelasan tradisional untuk kemiskinan terus-menerus dari banyak negara-negara berkembang adalah bahwa mereka tidak memiliki objek seperti sumber daya alam atau barang modal. Tapi Singapura dan Taiwan mulai dengan sedikit baik dan masih tumbuh pesat.
Sebagian ahli menyarankan untuk memperbaiki terlebih dahulu sektor pendidikan dan kesehatan, dengan harapan level perekonomian rakyat akan membaik. Sebagian ekonom yang lain menyarankan untuk memperbaiki tata kelembagaan, jika diperlukan membentuk badan baru untuk membasmi kemiskinan.
Philip Alston, Pelapor Khusus PBB tentang Kemiskinan Ekstrim, dalam laporan terakhirnya pada 2020 melontarkan kritik keras terhadap ekonomi pertumbuhan, termasuk penggunaannya dalam SDGSs (Sustainable Development Goals) sebagai alat untuk memberantas kemiskinan. Alston menyampaikan, setelah berpuluh tahun dunia menyaksikan pertumbuhan GDP, ternyata pihak yang diuntungkan hanyalah mereka yang kaya dan super kaya. Maka, alih-alih menghilangkan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi justru menghasilkan ketimpangan (inequality) serta perusakan lingkungan hidup. Jika selama ini ilmu ekonomi ortodok gagal dalam merumuskan model ekonomi yang humanis dan menyejahterakan, kita juga belum menjumpai tawaran ideologis dan praktis dari para pemikir ekonomi heterodoks untuk memberantas kemiskinan.
Logika economic growth sebagai sebuah pengetahuan sekaligus metode kalkulasi ekonomi saat ini masih digemari kelas penguasa (ekonomi dan politik). Logika ini mengajarkan cara mengukur kemajuan suatu negara melalui penghitungan Produk Domestik Bruto (PDB). Penggunaan PDB dan variabel kuantitatif lainnya mungkin sudah usang, terlebih abai terhadap aspek non ekonomi seperti aspek ekologi, kebudayaan dan sosial. Aspek-aspek non ekonomi tersebut sering dinegasikan dan sama sekali tidak diperhitungkan dalam merumuskan kriteria kesejahteraan. Lalu sanggupkah Kecerdasan Buatan dengan segala kompleksitasnya memiliki kemampuan belajar dari kegagalan Kecerdasan Alami sehingga ia memiliki kemampuan lebih baik dalam mengatasi kemiskinan dibanding Kecerdasan Alami?
Dengan latar di atas, Ruang Literasi Kaliurang menghadirkan Budiman Sudjatmiko, Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan, untuk mendedah dan membincangkan persoalan tersebut dalam diskusi yang bertemakan Kemiskinan: Mampukah Kecerdasan Buatan Mengatasinya?