- 20/02/2025
- Plaza Ruang Literasi Kaliurang
Pembicara:
Lestari Moerdijat (Wakil Ketua MPR RI)
Zen RS
Mutia Sukma
Risda Nur Widia
Moderator:
Ayesha Shopie

Sebelum kemerdekaan, banyak wilayah di Indonesia yang dikungkung oleh sistem feodalisme yang bercampur dengan kepentingan ekonomi-politik kolonial. Feodalisme dan kolonialisme Belanda menciptakan banyak sekali penderitaan dan ketimpangan sosial bagi masyarakat di Nusantara, khususnya bagi perempuan. Belum lagi secara laten sistem agraris telah menempatkan perempuan sebagai makhluk nomor dua dan menjadi subordinat dari kepentingan politik yang didominasi oleh laki-laki. Situasi menyengsarakan ini telah banyak dicatat dalam kitab-kitab sejarah dan juga digambarkan dalam banyak karya sastra. Salah satunya lewat tulisan-tulisan Pramoedya Ananta Toer.
Teks-teks yang ditulis Pramoedya selalu tentang keberpihakan pada rakyat jelata yang mengalami penindasan dari berbagai aspek, baik itu politik, ekonomi hingga budaya. Karya Pramoedya banyak berisi tentang kemanusiaan yang melawan feodalisme usang dan budaya patriarki yang menindas perempuan. Ketajaman kata-kata dalam karyanya membuat setiap yang berkuasa jeri dan membuat Pramoedya dibui.
Belanda tidak tahan mendapatkan kritik lewat tulisan-tulisan Pramoedya, pemerintahan Orde Lama pernah memasukkan Pramoedya ke dalam penjara karena Hoakiau di Indonesia, buku yang terbit bersamaan dengan dilarangnya orang Tionghoa berdagang di pedesaan oleh pemerintah. Kemudian, Pramoedya belasan tahun hidup di pembuangan sebagai tahanan politik pada masa Orde Baru pasca peristiwa 1965.
Karya-karya Pramoedya banyak menampilkan sosok perempuan sebagai tokoh utama dalam alur ceritanya. Perempuan-perempuan dalam karya Pramoedya adalah mereka yang berada dalam gejolak zaman, berlawan dengan kemapanan, dan berjuang untuk kesetaraan. Keberpihakan Pramoedya terhadap kesetaraan dan perempuan itu tergambar dalam novel Gadis Pantai, Midah Simanis Bergigi Emas, Cerita Calon Arang, Arok Dedes, Larasati, Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, Panggil Aku Kartini Saja, dan juga dari sosok Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia.
Menjadikan perempuan sebagai tokoh utama pendobrak tradisi tua dalam karya-karya Pramoedya telah menegaskan posisi dan pandangannya bahwa tidak ada keadilan sosial tanpa kesetaraan perempuan dan laki-laki. Keberpihakan ini juga menandakan bahwa gerak zaman selalu diisi oleh perempuan tangguh dan teguh dalam menyampaikan nilai-nilai kemanusiaan.
Teks-teks Pramoedya ini juga bagian dari melawan feodalisme dan paradigma kolot yang masih bercokol dalam banyak cara berpikir masyarakat Indonesia. Bahkan setelah puluhan tahun novel-novelnya diterbitkan dan dibaca banyak orang, juga setelah kencangnya modernisasi dan teknologi, paradigma ini masih belum habis. Perempuan masih terus berjuang untuk kesetaraan dalam banyak aspek kehidupan sosial. Perlindungan dan pemberdayaan yang sudah modern pun belum sepenuhnya bisa menghapus kungkungan patriarki di tengah masyarakat yang masih menjalankan nilai-nilai feodalisme. Sebab itu, membicarakan dan mengkaji teks-teks Pramoedya tentang perempuan dalam berbagai novelnya itu menjadi penting untuk dilakukan.
Berlatar apa yang disampaikan di atas, Ruang Literasi Kaliurang menghadirkan satu diskusi terbuka untuk memperingati seabad Pramoedya Ananta Toer dengan tema Perempuan dan Pram. Kegiatan ini dimaksudkan sebagai penghormatan kepada Pramoedya yang telah melahirkan karya-karyanya yang penuh nilai dan pesan bagi masyarakat Indonesia. Dari diskusi yang akan berlangsung, bersama-sama kita akan membaca, mengkaji dan mengelaborasi teks dan gagasan Pramoedya tentang tokoh-tokoh perempuan dalam karyanya yang kemudian menjadi buah pikir dan ingatan bersama untuk mencapai keadilan sosial bagi semua yang selama ini menjadi cita-cita bangsa.